Dalam beberapa kurun waktu terakhir teknologi bidang pangan
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Saat ini mulai ditemukan bahan pangan
transgenik (GMO: Genetically Modified
Organism). Produk pangan transgenik bisa dijadikan jalan pintas untuk
memenuhi kebutuhan pangan lebih cepat di tengah pertumbuhan masyarakat yang
semakin meningkat. Khususnya di negara berkembang sebagai solusi kemandirian
pangan.
Transgenik merupakan bioteknologi moderen yang memanfaatkan
sifat-sifat makhluk hidup dengan memindahkan gen dari satu spesies ke spesies
lain. Misalnya, tomat sebelumnya tidak dapat bertahan lama dalam suhu ruang dan
cepat busuk. Melalui proses transgenik ini, tomat yang telah di rekayasa
genetika menghasilkan tomat transgenik yang tahan lama.
Begitu juga tanaman jagung yang seringkali terserang hama
serangga. Melalui proses rekayasa genetika bisa menghasilkan jagung GMO tahan
hama. Pemberian pangan transgenik juga dimaksudkan untuk tujuan tertentu.
Seperti yang terjadi pada ternak di Amerika Serikat yang diberi pakan rumput. Selama
berada di rumah jagal, beberapa hewan bisa saja diberi pakan jagung hasil
rekayasa genetika. Tujuannya untuk meningkatkan massa otot dan kandungan
lemaknya.
Di Indonesia sendiri beberapa produk yang sudah mendapat
persetujuan Komisi Keamanan Hayati Indonesia yaitu tebu tahan kekeringan dan
jagung toleran herbisida. Pada dasarnya kehidupan kita memang tidak lepas dari
produk rekayasa genetika. Makanan yang kita makan sehari-hari seperti tahu,
tempe serta produk turunannya bahan utamanya berasal dari kedelai. Padahal selama
ini Indonesia masih mengandalkan kedelai impor yang 80% merupakan kedelai GMO.
Di sisi lain produk pangan hasil rekayasa genetika tidak
lepas dari beberapa kekurangan yang saat ini banyak diperbincangkan. Secara
ekonomi, keberadaan pangan transgenik menyebabkan ketergantungan terhadap
produk impor. Selain itu, produk pangan transgenik yang tidak melalui proses
dan pengawasan yang tepat tentu dapat membahayakan kesehatan.
Dari segi lingkungan, produk transgenik akan mengurangi
jenis tumbuh-tumbuhan di dunia dan pencemaran air. Produk rekayasa genetika
memang masih menimbulkan perdebatan baik dari segi kesehatan maupun keamanan.
Di Indonesia sendiri setiap produk yang dikonsumsi
masyarakat sudah melalui proses uji kesepadanan substansial dan pengujian
alergi. Uji kesepadanan substansial merupakan uji terhadap kandungan nutrisi
pangan transgenik. Sedangkan, uji alergi dilakukan untuk mengetes tingkat
kesensitifan manusia terhadap pangan transgenik.
Bukan tidak mungkin ke depan produk pangan transgenik akan
dilakukan secara terus menerus terhadap produk pangan lainnya. Dimana jumlah
penduduk Indonesia semakin banyak dan kebutuhan pangan semakin meningkat. Sementara
lahan semakin sempit dan perubahan iklim yang semakin tidak menentu.
Selain itu, munculnya produk pangan ini bisa menjadi jalan
keluar ancaman krisis pangan dunia. Krisis ini dikhawatirkan akan memuncak
mulai tahun 2050. Proses bioteknologi juga menjadi jawaban untuk mengatasi
masalah perubahan iklim global, krisis air sekaligus pengurangan pestisida dan
emisi karbon dunia.
Bahkan badan pangan dunia atau FAO
juga sudah meramalkan ke depan akan terjadi peningkatan kebutuhan pangan
sebesar 60% seiring bertambahnya jumlah penduduk dunia. Agar penduduk dunia
tidak terpuruk dengan kemiskinan dan kelaparan perlu dilakukan upaya pemuliaan
tanaman seperti beras, jagung, tebu dan gandum dengan memanfaatkan
bioteknologi.
Selama pengujian terhadap produk GMO yang dilakukan
memenuhi standar ilmiah maka terbukti aman untuk manusia dan lingkungan. Bahan
pangan GMO telah melalui penelitian nutrisi, toksikologi sampai alerginitas.
Prosesnya juga melalui pengawasan lembaga internasional seperti World Health
Organization, Food and Agriculture Organization, dan Organization for Economic
Cooperation and Development. Masyarakat juga diharapkan harus lebih teliti
ketika memilih makanan.